Salah satu isu mencuat ketika diketahui bahwa anak dari salah satu guru sekaligus pengurus yayasan berinisial D, tidak disekolahkan di yayasan Daarul Muttaqin, melainkan di sekolah lain jenjang SMP yang dinilai "lebih berkualitas". Padahal, guru tersebut adalah bagian penting dari sistem pengelolaan sekolah yang seharusnya menjadi teladan dalam mempromosikan kualitas pendidikan di tempatnya sendiri.
Ironisnya, ketika ditanya oleh masyarakat terkait alasan tidak menyekolahkan anaknya di sekolah tempat dia mengabdi, D memberikan jawaban yang menyakitkan hati banyak pihak. Ia menyatakan bahwa sekolah tersebut tidak cukup "berkualitas" untuk anaknya, dan memilih sekolah lain yang memiliki keunggulan dalam hafalan Al-Qur’an. Pernyataan ini sontak menimbulkan gelombang kekecewaan dan kemarahan, karena secara tidak langsung menggambarkan bahwa yayasan Daarul Muttaqin tidak layak bagi anak sendiri, tapi cukup untuk anak orang lain.
Lebih lanjut, dalam wawancara bersama media, D merespons pertanyaan dengan nada tinggi dan kasar. Ketika ditanya soal keterlibatan dana pemerintah dalam operasional sekolah, ia menjawab, "Apa urusanmu?" sebuah pernyataan yang dinilai tidak pantas diucapkan oleh seorang pendidik, apalagi perwakilan dari sebuah yayasan pendidikan.
Kondisi ini semakin memperburuk citra yayasan Daarul Muttaqin yang selama ini dikenal baik. Masyarakat mulai mempertanyakan legalitas sekolah, pengelolaan dana, serta transparansi dalam kegiatan belajar-mengajar. Diketahui bahwa sekolah ini sebelumnya menerima alokasi anggaran dari Kementerian Daerah, Propinsi atau pusat dan pribadi. Namun, kini publik mempertanyakan apakah dana tersebut benar-benar digunakan sesuai dengan peruntukannya.
Sejumlah pihak mencatat kejanggalan terkait fasilitas operasional sekolah, termasuk pengadaan mobil pickup yang digunakan sebagai sarana antar-jemput siswa. Publik mempertanyakan apakah dana tersebut berasal dari anggaran negara, atau ada sumber lain yang belum terungkap secara transparan. Lagi-lagi, D memberikan pernyataan mengelak dengan mengatakan bahwa sekolah tidak menggunakan dana daerah maupun pusat sebuah klaim yang bertolak belakang dengan temuan awal.
Tak hanya itu, dugaan penggelembungan data siswa demi memenuhi kuota dan memperoleh bantuan juga mulai mencuat. Dugaan Indikasi bahwa sekolah menggabungkan data agar tampak memenuhi jumlah minimum siswa memicu kecurigaan adanya motif bisnis berkedok pendidikan.
"Ini sudah di luar batas. Jika guru dan yayasan tidak percaya pada sekolahnya sendiri, bagaimana masyarakat bisa menaruh harapan?" kata seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan sekolah swasta berbasis yayasan seperti Daarul Muttaqin. Apakah mereka benar-benar fokus mencerdaskan generasi bangsa, atau justru menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis untuk memperkaya diri?
Sebagai penutup, kredibilitas lembaga pendidikan tidak hanya diukur dari bangunan fisik atau banyaknya siswa, tetapi juga dari komitmen para pendidik dan pengelola dalam menjaga integritas, transparansi, serta memberikan keteladanan. Ketika guru dan yayasan sendiri tidak menaruh kepercayaan pada sekolah yang mereka kelola, maka sangat wajar jika masyarakat mulai meragukan segalanya. (Dt - 001).

Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus